Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Selamat Datang di طَلَبُ الْعَلْمِ
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh..
Selamat datang di web kami.
Didalam menuntut ilmu pastilah akan ada dua peran yang ditampilkan dalam proses thalabul ilmi tersebut, yaitu Guru dan Murid. Yang akan kami bahas dalam artikel kali ini ialah tentang pentingnya menuntut ilmu dengan guru dan pentingnya berguru kepada orang yang memiliki sanad keilmuan yang sampai kepada Rasulullah S.A.W
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Sebuah amalan tentunya tidak akan mudah dilakukan dan tidak pula diterima jika tidak disertai dengan ilmu. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah mengatakan: “Barang siapa yang beramal tanpa didasari dengan ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya akan jauh lebih besar daripada maslahatnya.”
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Di dalam mempelajari ilmu agama, pastinya seseorang yang sedang menuntut ilmu pastilah harus memiliki guru agar tidak tersesat dalam memahami sebuah perkara. Bahkan, Syeikh Abu Yazid pernah berkata bahwa : MAN LAISA LAHU SYAIKH FASYAIKHU SYAITHAN artinya Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka guru nya adalah setan.
Orang yang mengambil ilmu agama tanpa mempelajarinya langsung kepada ulama dan hanya mempelajari nya dari buku atau kitab, maka orang tersebut ketika sudah selesai dalam mempelajari ilmu tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ulama, bahkan para ulama salaf menganggap “Dho’if” atau lemah keilmuannya karena tidak langsung mempelajarinya dari ulama. Sebagai mana yang pernah disampaikan oleh Nashiru al-Din al-Asad, dalam kitabnya Mashadiru al-Syi'ri aL-Jahily, ketika beliau membahas mengenai isnad atau jalur transmisi keilmuan, beliau pun mengatakan bahwa: “Para ulama salaf menganggap ‘dha'if’ atau lemah keilmuan seseorang yang hanya mengambil ilmu dari teks yang ada pada lembaran-lembaran tertulis tanpa merujuknya kepada para ulama”.
Orang yang hanya mempelajari sebuah ilmu hanya dari buku atau kitab dan tidak disertai Ulama, maka mereka sering dijuluki dengan nama “SHAHAFI” atau juga para “LITERALIS” karena hanya mengambil ilmu dari teks dan tidak mengambilnya langsung dari para ulama, maka kebanyakan dari mereka melenceng pemahamannya.
Dalam proses pencarian ilmu hendaklah kita tidak salah memilih dari mana datangnya ilmu tersebut, agar tidak salah untuk mengambil sikap kita dalam beramal. Bahkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib R.A pun pernah berkata “Perhatikanlah darimana kalian mengambil ilmu ini ! karena sesungguhnya ini (mengambil ilmu) adalah urusan agama”.
PENTINGNYA SANAD KEILMUAN
Sumber utama Ilmu Agama Islam adalah Al-Qur’an dan Juga Hadits Nabawiyah. Kemurnian dari Al-Qur’an sendiri sudah Allah jamin kemurniannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hijr, ayat 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Validitas Hadits Nabi pun sudah banyak diteliti oleh para ulama hadits dan hanya sedikit saja perbedaan pendapat diantara para ulama. Maka sumber normatif dari Ilmu Agama Islam akan selalu ada dan dapat di Akses oleh setiap muslim.
Namun, Apakah Setiap Muslim Paham Dan Mampu Untuk Beristinbath (Pengambilan) Hukum Dari Kedua Sumber Ajaran Agama Islam Tersebut.?
Maka, disinilah pentingnya genealogy atau sanad dalam transmisi keilmuan dari agama Islam.
Ibnu al-Mubarok, sebagaimana dikutip oleh Imam Muslim mengatakan bahwa: “Al Isnadu minaddin, lau laa al isnadu laqoola man sya’a wa ma sya’a” Artinya: “Isnad adalah urusan agama. Kalau urusan isnâd tidak diperhatikan, maka setiap orang bisa bicara apa saja sekehendak hatinya”.
Dalam mempelajari Ilmu agama, seorang muslim tidak hanya disuruh untuk memperhatikan sanad dalam perkara validitas riwayat teks dan juga matan hadits. Pemahaman dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabawi pun harus diambil dan didapatkan dari para Ulama yang memiliki sanad yang muttasil. Silsilah atau sanad yang tersambung hingga ke Rasulullah S.A.W itulah salah satu syarat terpenting dalam keshasihan otoritas didalam keilmuan Agama Islam, dan bahkan juga di dalam mempelajari Ilmu Tasawwuf.
Etika inilah yang selalu dipertahankan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian ilmu agama Islam. Sebagai mana dalam Hadits Nabi Riwayat Imam Abu Daud, bahwa “para ulama adalah pewaris para nabi.” Oleh sebab itu keilmuan agama Islam harus dipelajari dari para Ulama, bukan hanya sekedar dari catatan atau pun teks.
Dalam hadits Nabi yang lainnya pun yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, nabi Muhammad S.A.W menerangkan bahwa “Allah mengambil ilmu dari manusia bersama meninggalnya Ulama”.
Bahkan Imam Al-Bukhari pun pernah meriwayatkan hadits, bahwa “orang-orang yang tidak mau mengambil ilmu agama dari para ulama, sehingga ketika para ulama sudah meninggal, mereka mengangkat orang bodoh menjadi pemuka agama, selanjutnya si pemuka agama yang bodoh itu tersesat, dan menyesatkan orang lain”.
SANAD GENERASI AL-SALAF AL-SHALIH
Para sahabat dan juga para tabi’in yang kita kenal sebagai generasi Al-Salaf Al-Shalih yang menjadi panutan oleh seluruh muslim yang ada didunia dalam mengamalkan dan memahami ajaran Islam, mereka sangatlah menyadari tentang Sanad tersebut sehingga mereka sangat berhati-hati untuk melakukan pengistinbath hukum dan juga dalam menafsirkan Ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Sebagaimana pernyataan dari kalangan Al-Salaf Al-Shalih yang pernah dinuqil oleh Muhammad Siddiq Khan, bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang kurang pandai dari kalangan sahabat dan tabi'in, mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an dan hadis tanpa merujuk dan berkonsultasi kepada para ahli ilmu di antara mereka. Ini adalah keterangan yang mutawatir dari mereka.”
Hal ini pun dibuktikan bahwa saat Umar Bin Khattab R.A meminta Ibn Abbas R.A menerangkan tentang kata “ABBA” dalam surat “ABASA”, dan Ibn Abbas R.A pun menerangkan bahwa kata “ABBA” dalam surat “ABASA” adalah tumbuhan yang dimakan oleh binatang dan bukannya manusia.
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Imam Syafi’i yang terkenal sangat cerdas dan faqih, juga mengambil ilmu agama dari para ulama lain, terutama Imam Malik.
Dan Imam Malik yang terkenal dengan julukan ‘Alimu al-Madinah, juga mengambil ilmu agama dari para gurunya yang belajar dan bertemu dengan para sahabat.
Dan para sahabat juga belajar dari sahabat lain yang lebih ‘alim, serta dari Rosulullah saw.
Silsilah keilmuan Islam melalui transmisi (Sanad) yang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW perlu dijaga oleh siapa saja yang ingin memahami ajaran Islam dengan benar, agar tidak menyimpang pemahamannya.
Meskipun Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Baihaqi, Hakim, Daru Quthni, dan ulama pengumpul hadis lainnya merupakan orang-orang yang sangat ahli di dalam meriwayatkan hadis, tapi mereka tidak merasa sombong dan serta merta menganggap diri mereka faham tentang ilmu agama.
Para ahli hadis itu menyadari, bahwa yang harus dijaga bukan hanya isnâd atau silsilah periwayatan matan hadis, melainkan juga pemahaman yang terkandung di dalam hadis-hadis yang mereka riwayatkan itu.
Oleh karena itu, mereka tetap belajar memahami ajaran Islam yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabawi, melalui para ulama yang memiliki sanad keilmuan.
Ibnu Hajar bahkan menyatakan bahwa: “Dalam urusan fikih, Imam Bukhari mengambilnya dari Imam Syafi’i”.
Umat Islam tentu mengakui kualitas para ulama hadis di atas. Artinya kita mempercayai otoritas keilmuan, akhlaq, dan kesalehan mereka.
Jika demikian, kita mestinya mengikuti juga etika mereka dalam mengambil ajaran Islam, serta sikap mereka dalam urusan istinbath hukum.
Kita tidak boleh mengambil ilmu agama secara serampangan. Kita tidak boleh sembarangan menyimpulkan hukum dan pemahaman dari ayat-ayat maupun hadis-hadis yang mereka riwayatkan, tanpa bimbingan ulama yang juga mengambil pemahamannya dari ulama.
“Sesungguhnya umat Islam telah sepakat dan serujuk bahwasanya agar untuk dapat memahami, mengetahui dan mengamalkan syari’at agama Islam dengan benar, harus mengikuti orang-orang yang terdahulu. Para Tabi’in di dalam menjalankan syari’at mengikuti atau berpegang kepada amaliah para sahabat Rosulullah. Sebagaimana generasi setelah Tabi’in mengikuti para tabi’in, maka setiap generasi selalu mengikuti generasi yang sebelumnya. Akal yang waras menunjukkan kebaikan sistem yang demikian ini. Karena syari’at Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan jalan memindahkan dari orang yang terdahulu dan diambil pelajaran, ketentuan atau patokan dari orang-orang yang terdahulu itu.” (K.H. Hasyim Asy’ari)
Semoga Bermanfaat
Lihat Juga :
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
0 komentar: