Melafalkan Niat Shalat Dan
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama
Selamat Datang طَلَبُ الْعَلْمِ
اِنَّمَا الاَعْمَالُ باِلنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap amal (perbuatan) hanya bergantung kepada niat dan bahwasanya setiap urusan (juga) bergantung kepada apa yang diniatkan.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Selamat datang di Blog kami, semoga ada dalam perlindungan Allah S.W.T
Insyaalloh, pada kesempatan yang membanggakan kali ini kami akan menyampaikan Hukum melafalkan niat saat shalat, dan juga perbedaan pendapat tentang Niat Shalat dalam peresfektif 4 Madzhab.
Baca hingga selesai, InsyaAllah bisa memberikan sebuah kejelasan.
Sebenarnya pelafalan Niat Shalat adalah amalan yang biasa dilakukan oleh Warga Nauhdlatul Ulama (Nahdliyin) dan menjadi suatu yang diluar kebiasaan oleh orang-orang yang kurang sepaham dengan mereka.
Persoalan dalam perkara melafadzkan (membaca) niat di dalam ibadah dan khususnya dalam niat shalat kembali menjadi sebuah permasalahan yang diungkitkan. Ramainya suatu perdebatan yang bersangkutan dalam pembacaan niat muncul setelah umat di Indonesia Khususnya membaca sebuah buku "Sifat Shalat Nabi saw" yaitu sebuah karya Ulama dari Saudi Arabia yaitu Syaikh Nashruddin al-Albany yang berbeda Madhab dengan warga Indonesia secara mayoritas Bermadzhab Al-Syafi'i. Pada era 1970-an permasalahan ini memang pernahdiperbincangan, dan munculnya perkara ini ketika ketika para ustadz Muhammadiyyah yang mengeluarkan sebuah fatwa bid'ahnya mengucapkan kalimat (lafal) niat "usholli" pada saat ingin melakukan shalat atau sebuah ucapan "nawaitu shauma ghodin" ketika pada saat akan melaksanakan ibadah puasa (shaum) wabil khusul dibulan Ramadhan. Oleh karenanya permasalah ini tidak hilang dan justru semakin berkembang. Oleh sebab itu kami ingin mengembalikannya kepada Ulama ahlul ijtihad secara Jumhur, karena islam itu harus berjama'ah dan tidak pula saling menyalahkan sesama muslim.
Persoalan dalam perkara melafadzkan (membaca) niat di dalam ibadah dan khususnya dalam niat shalat kembali menjadi sebuah permasalahan yang diungkitkan. Ramainya suatu perdebatan yang bersangkutan dalam pembacaan niat muncul setelah umat di Indonesia Khususnya membaca sebuah buku "Sifat Shalat Nabi saw" yaitu sebuah karya Ulama dari Saudi Arabia yaitu Syaikh Nashruddin al-Albany yang berbeda Madhab dengan warga Indonesia secara mayoritas Bermadzhab Al-Syafi'i. Pada era 1970-an permasalahan ini memang pernahdiperbincangan, dan munculnya perkara ini ketika ketika para ustadz Muhammadiyyah yang mengeluarkan sebuah fatwa bid'ahnya mengucapkan kalimat (lafal) niat "usholli" pada saat ingin melakukan shalat atau sebuah ucapan "nawaitu shauma ghodin" ketika pada saat akan melaksanakan ibadah puasa (shaum) wabil khusul dibulan Ramadhan. Oleh karenanya permasalah ini tidak hilang dan justru semakin berkembang. Oleh sebab itu kami ingin mengembalikannya kepada Ulama ahlul ijtihad secara Jumhur, karena islam itu harus berjama'ah dan tidak pula saling menyalahkan sesama muslim.
Kedudukan Niat
Kedudukan niat ini sebagaimana telah kita ketahui bahwa semua amalan bergantung kepada niatnya, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mu'minin Umar Ibn' Khattab R.A, bahwa Nabi Muhammad S.A.W bersabda :
اِنَّمَا الاَعْمَالُ باِلنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap amal (perbuatan) hanya bergantung kepada niat dan bahwasanya setiap urusan (juga) bergantung kepada apa yang diniatkan.
al-Imam al-Suyuthi Rahimahumullah, di dalam sebuah karyanya yang bernama " Al-Ashbah wa al-Nadzoir fil furu' " yang menjelaskan bahwa hadits yang berbunyi "innamal a'malu binniyyat" ini ialah merupakan sebuah pondasi dari sebagian besar mengenai ilmu agama. Imam al-Syafi'i r.a. sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Imam al-Suyuthi Rahimahumullah, mengatakan bahwa didalam hadits ini melahirkan 40 cabang tentang pembahasan ilmu. Sangat besarnya peran dan perhatian para ulama, sebagaimana telah terekam dari penjelasan Imam al-Suyuthi Rahimahumullah tadi yang menegaskan bahwa persoalan dari niat ini mempunyai kedudukan tersendiri dan bahkan sangatlah penting di dalam semua urusan Agama.
Apakah Rasulullah S.A.W Pernah Melafalkan Niat.?
Rasulullah S.A.W dalam sebuah riwayat dikatakan beliau pernah melafalkan niat, yaitu ketika Haji dan Umroh.
1. Hadits riwayat Annas Bin Malik, bahwa Nabi Muhammad S.A.W pernah melafalkan niat ketika haji dan Umroh ;
عَن اَنَس رَضِي الله عَنه سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَبَّيك عُمْرَةً وَحَجًّا
Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasul saw berujar mengucapkan niat hajinya,' Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji" (HR Muslim, sebagaimana tertulis di dalam Syarah (penjelasan) Shahih Muslim karya Imam al-Nawawi rah Jilid VIII/hal.216).
2. Hadits Riwayat Amirul Mu'mini Umar Bin Khattab ;
عَنْ عُمر رضي الله عنه قال سَمِعتُ رَسولَ الله صلى الله عليه وسلم بِوَادى العَقِيق يَقُول اَتَانِى اللَّْيلةَ َاتِ رَبِّ فَقَالَ صَلِّ فِى هَذاَ الوَادِى المُبَارَك وَقُل عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Dari Umar r.a. ia berkata Aku mendengar Rasul saw di lembah al-Aqiq berkata: " telah datang kepadaku tadi malam utusan Tuhanku (malaikat), ia berkata,' shalatlah (kamu wahai Rasul saw) di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah niat umrah untuk haji'. " (HR Bukhari Jilid 1/hal.89)
Kaidah Ilmu Ushul Fiqih
Kedua Hadits tersebut adalah niat tentang Ibadah Haji dan Umrah, maka sebagian berpendapat bahawa Niat Pada Shalat, atau Puasa dan lainnya dikatakan tidaklah sah dan menjadi hal yang tidak boleh dilakukan. Maka, kami akan mengembalikan kepada kaidah didalam Ilmu Ushul Fiqih, yakni :
اِذَا وَرَدَ العَامُ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍ فَالعِبْرَةُ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ لِخُصُوصِ السَّبَب
"Apabila ada nash (teks dalil baik Al-Qur'an ataupun hadits) yang bersifat umum karena sebab yang khusus, maka yang dianggap umum adalah nash bukan khususnya sebab".
Kaidah Ilmu ushul Fiqih ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy rahimahumullah yaitu seorang ulama salaf dalam kitabnya (Ibnu Qudamah wa atsuruhu al-ushuliyyah hal. 233) Dengan berpegang dan berpatokan kepada kaidah ushul fikih itu, maka kedua hadits di atas bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Teks dari kedua hadits di atas muncul karena adanya sebab yang khusus yaitu tentang haji dan umrah;
2. Isi dari teks kedua hadits di atas dipandang hadits yang bersifat umum karena Nabi Muhammad saw tidak memberikan sebuah penjelasan bahwa lafadz niat itu hanya diucapkan ketika melaksanakn haji dan umrah saja.
Lain pula halnya jika dari kedua teks hadits itu Nabi Muhammad saw melakukan penegasan dengan sebuah kalimat "jangan kalian melafalkan niat selain daripada niat haji dan umrah ini.", seperti halnya terdapat di dalam hadits tentang membacakan surat Al-fatihah di dalam shalat bagi seroang makmum.
Awal Mula Pelafalan Niat Shalat
Awal mula pelafalan niat dalam shalat ini, ialah suatu ketika ada seorang yang merasa was-was dalam shalatnya dan tidak pula merasakan suatu kekhusuan didalam shalat tanpa melafalkan niat. Akhirnya ia pun meminta fatwa dari ulama setempat tentang pelafalan niat. Setelah itu maka Ulama pun mengeluarkan fatwa tentang kebolehan melafalkan Niat sebagai penguat kekhusuan dengan menqiyaskan kedalam kebolehan melafalkan Niat Haji dan Umroh.
Maka pendapat ini beredar dan dilakukan oleh banyak orang untuk menguatkan shalatnya.
Pendapat Ulama Pelafalan Niat Shalat
Pendapat Ulama tentang pelafalan Niat Shalat secara jumhur yang bisa mewakili Seluruh Umat Islam Ahlusunnah diseluruh Dunia. Kita harus mengembalikan kepada ahlinya dan karena ini lah kami mencantumkan pendapat Ulama besar dan terkemuka.
- Mazhab Imam Abu Hanifah (Hanafy) ; Para ulama yang mengikuti mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat adalah sunnah hukumnya untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Pendapat ini terdalam dalam sebuah kitab ; (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)
- Mazhab Imam Malik bin Anas (Maliky) ; Niat pada shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat ini tidak dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu (hukumnya) menjadi sunnah melafadzkan niat shalat agar menghilangkan keraguan. Pendapat ini disampaikan dalam sebuah kitab (al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)
- Mazhab Imam Al-Syafi'i (Syafi'iy) ; Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib untuk menentukan jenis shalat yang akan dilakukan. Pendapat ini terdapat dalam (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)
- Mazhab Imam Ahamad Bin Hambal (Hanbali) ; sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Pendapat ini disampaikan dalam sebuah kitab (al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).
- Imam Ramli mengatakan ;
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
- Al-Fiqhu 'alaa Madzahibil Arba'ah ;
يسن أن يتلفظ بلسانه بالنية، كأن يقول بلسانه أصلي فرض الظهر مثلاً، لأن في ذلك تنبيهاً للقلب، فلو نوى بقلبه صلاة الظهر، ولكن سبق لسانه فقال: نويت أصلي العصر فإنه لا يضر، لأنك قد عرفت أن المعتبر في النية إنما هو القلب، النطق باللسان ليس بنية، وإنما هو مساعد على تنبيه القلب، فخطأ اللسان لا يضر ما دامت نية القلب صحيحة، وهذا الحكم متفق عليه عند الشافعية والحنابلة، أما المالكية، والحنفية فانظر مذهبهما تحت الخط (المالكية، والحنفية قالوا: إن التلفظ بالنية ليس مروعاً في الصلاة، الا إذا كان المصلي موسوساً، على أن المالكية قالوا: إن التلفظ بالنية خلاف الأولى لغير الموسوس، ويندب للموسوس الحنفية قالوا: إن التلفظ بالنية بدعة، ويستحسن لدفع الوسوسة.
Diantara Ulama Hanafiyah memang ada yang mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah namun disunnahkan untuk menghilangkan was-was, dengan demikian maka maksud bid’ah tersebut adalah bid’ah yang baik sebab ulama Hanafiyah mensunnahkannya jika untuk menghilangkan was-was.
- Shohibul Mughniy ; Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan "Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja" (Al Mughniy Juz 1 hal 278), lihat penjelasannya dalam Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
- Al-Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam kitabnya Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
- Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi'/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
- Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
- An-Nawawi Didalam kitab syarahnya yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah dijelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat didalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat".
Dan masih banyak lagi pendapat Ulama. Ada pun pendapat ulama yang tidak mensunnahkannya namun hanya membolehkannya.
Adapun pendapat dari Syaikh bin Baz rahimahumullah dan Syaikh al-albany rahimahumullah yang menganggap membaca niat adalah bid'ah tidak dapat dijadikan sebagai alasan dan rujukan dikarenakan pandangan kedua ulama itu bersifat pribadi dan tidak dapat mewakili mayoritas secara menyeluruh karena perihal Jumhur dan juga sanad keilmuaannya.
Kesimpulan tentang Melafalkan Niat shalat
Tentang perkara pelafalan Niat tersebut, maka tersimpul bahwa ;
- Dengan membaca dengan jelas dari hadits shahih diatas dan berpedoman kepada kaidah didalam menmbaca dalil yang diajarkan oleh para Ulama, maka tidak ditemukan persoalan Bid'ah dalam pelafalan niat, baik itu shalat, puasa dan atau pun zakat.
- Pelafalan Niat ini disunnahkan bagi orang yang was was sebagai penguat agar khusu dalam ibadahnya.
- Tidak menjadi bid'ah jika tidak dijadikan atau dimasukkan kepada rukun shalat, selama tidak ditafsirkan sebagai syarat sah shalat, maka itu bukanlah bid'ah.
- Hukumnya Boleh dan atau pun sunnah sebagai penguat kekhusuan.
- Syarat sah shalat diawali dengan Niat dalam hati yang dilakukan bersaman dengan bertakbir, maka pelafalan niat ini tidak membatalkan shalat karena dilakukan sebelum shalat ini dilakukan.
Demikian uraian yang bisa disampaikan, semoga bisa memberikan kejelasan. Kritik dan saran dipersilahkan pada bagian komentar.
Dalam bab Ikhtilaf ; sangatlah wajar jika punya pendapat yang berbeda. Semoga kita mempunyai tenggang rasa dan tidak saling menyalahkan, apalagi hingga mengkafirkan.
Dalam bab Ikhtilaf ; sangatlah wajar jika punya pendapat yang berbeda. Semoga kita mempunyai tenggang rasa dan tidak saling menyalahkan, apalagi hingga mengkafirkan.
Semoga bermanfaat.
Wallahu 'Alam Bish Shawwab
Wassalamu'alaikum,, Warohamtullahi,, Wabarokaatuh,,
Rujukan :
- Syarah Shahih Muslim : III:216
- Shahih Bukhari : I/89
- Al-Ashbah wa al-Nadzoir fil furu' (Imam Assuyuuti r.a.h)
- Ibnu Qudamah wa atsuruhu al-ushuliyyah hal. 233
- Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66
- al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305
- Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252
- al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370
- Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437
- Al Mughniy Juz 1 hal 278)
- Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217
- Syarah Muntaha Al-Iradat
- Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir
- Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi
Sumber Lainnya :
Melafalkan Niat Shalat Dan Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama
Artikel Lainnya :
Keyword : hukum niat shalat, hukum niat shalat menurut 4 madzhab , hukum niat shalat diucapkan , hukum niat sholat dengan bahasa indonesia , hukum niat shalat menurut 4 mazhab, hukum niat sholat wajib, hukum niat sholat pakai bahasa indonesia, hukum niat dalam shalat, hukum menggabungkan niat shalat sunnah, hukum membaca niat shalat dengan bahasa indonesia, hukum baca niat shalat, hukum membaca niat sholat dalam bahasa indonesia, hukum shalat berjamaah beda niat, hukum bacaan niat dalam shalat, hukum bacaan niat sebelum shalat, hukum niat dalam shalat fardhu, hukum membaca niat shalat dengan keras, hukum melafalkan niat dalam shalat, hukum melafadzkan niat dalam shalat, hukum membaca niat dalam shalat, hukum niat sholat fardhu, hukum membaca niat sholat fardhu, hukum dan niat sholat jumat, hukum melafazkan niat ketika shalat, hukum membaca niat ketika shalat, hukum melafadzkan niat ketika shalat, hukum lafadz niat shalat, hukum lafadz niat sebelum shalat, hukum lafadz niat dalam shalat, hukum membaca niat shalat, hukum melafadzkan niat shalat, hukum niat pada shalat, hukum niat sebelum shalat, hukum melafadzkan niat sebelum shalat, hukum mengucapkan niat sebelum shalat, hukum salah niat shalat, hukum salah niat dalam shalt, hukum shalat tanpa niat, hukum shalat tanpa membaca niat
0 komentar: